27.12.24

Freezing at 30

0 komentar

Beberapa kali aku harus menggunakan kalkulator untuk menghitung usiaku sendiri. Sepertinya tahun ini masuk 30, tapi kayaknya tahun lalu juga udah 30 deh, atau malah tahun sebelumnya lagi?


Akhir-akhir ini tiba-tiba aku ingin kembali ke masa muda, kembali ke masa remaja dan mendengarkan kembali playlist pada masa itu, melihat kembali foto digital yang alay lebay kamseupay, membuka memori tentang kegiatan terfavoritku saat itu: mengunjungi festival dan menikmati ketinggian. Bahkan bio Instagramku masih tak berubah meski keadaan sudah tidak mencerminkan kalimatnya, padahal keadaanku juga selalu dalam koridor kequietan dan keriotan. Namun aku tak tahu apa bio yang bisa menggambarkan kondisiku sekarang, selain a daily boring working mom with a toddler. Tak terasa memang 10 tahun lebih berlalu sejak generasiku -milenial- sedang ranum-ranumnya di dunia, dengan semangat ingin mencoba banyak hal yang mungkin tidak akan dilakukan kembali saat telah menua dan bersahabat dengan rasa kantuk dan malas. Tak terasa, jika generasiku sudah tak lagi wajar mengembangkan passion, mengikuti trend, sok asik hingga sok lucu di tongkrongan dan malah terlihat seperti, ini tante-tante mau ngapain sih tujuannya?


Mungkin ini pula salah satu alasan kenapa aku juga eman-eman pada feed Instagramku yang isinya kebahagiaan dan kebabasan di masa lampau, bahkan segala pikiran dan perasaan cemas yang dialami banyak muda, yang kulihat, setidaknya aku cukup bertumbuh meskipun satu jengkal, segala yang terpampang jelas di feed adalah aku, dan masa laluku, dan perjalananku, dan berbagai suka-dukaku.


Cita-citaku setelah dewasa ini memang telah kuperbarui beberapa tahun belakangan, ingin menjadi seorang yang selalu relate dengan anak muda yang sedang berjaya. Terlebih setelah punya anak, ingin selalu paham apa yang sedang terjadi di usianya. Tapi memang, relate ga melulu harus masuk ke dalamnya, lagi-lagi untuk menghindari pikiran mereka yang “ini tante-tante mau apa dah?”


Terakhir, terkait berbagai keinginan yang tertunda. Entah kenapa pasca covid Indonesia jadi sering didatangi band atau penyanyi favorit. Konser dan festival yang bertabur bintang di eraku adalah salah satu hal yang selalu kuikhlaskan dalam dua tahun ini. Kadang ingin ikut war tiket untuk bisa merasakan hype-nya. Namun cukup menyusun playlist live perform mereka dalam waktu dekat-dekat konser, menonton setiap updatean teman atau siapapun di sosial media, semuanya sudah cukup membuatku merasakan ada di sana. Memang aku cukup berharap bisa kembali ke festival setidaknya, namun, banyak sekali namunnya :D


That’s all. Aku ingin tetap menjadi 30 sampai tahun-tahun berikutnya, untuk mendatangi tempat yang aku belum kunjungi, mendengarkan live perform band-band yang aku masih sukai. Oiya btw, kita memang sudah tidak lagi punya semangat ngulik lagu atau band baru setelah usia 25an, jadinya yang kita sukai dan dengarkan adalah yang familiar di telinga. Itulah mengapa aku tak lagi tahu band-band genzi selain yang sering muncul di rekomendasi, dan memilih untuk kembali ke masa lampau mendengarkan lagu-lagu nostalgia itu.








5.11.24

Apa guna perempuan bernama

0 komentar

Selain untuk mengisi nama ibu di Bank. 

Setiap bayi yang lahir di dunia ini selalu diberikan nama terbaik -versi orangtuanya-, ia menyandang nama itu sejak bayi, remaja, hingga dewasa. Cukup sampai disini karena ia akan menanggalkan nama terbaiknya setelah dipinang oleh laki-laki, dan berganti menjadi nama suaminya. Ibu Sugeng, Ibu Parno, Ibu Bambang, dan ibu-ibu bernama bapak-bapak lainnya.

Singkat cerita di masa milenial sudah pada menikah, ku kira emansipasi semakin bergaung, dan benar, nama bapak tak lagi menggantikan nama perempuannya. Namun kisah tentang nama kami, para perempuan, tetap tidak berubah. Hanya subjek saja yang beralih dari suami ke sang anak. Panggil kami Mama Arsha, Mama Elzio, Mama Gianna, dan mama dari anak-anak kami.