28.2.23

Benang Merah

0 komentar

        Beberapa waktu ini, aku sering membayangkan. Bagaimana jadinya apabila dulu aku ga melakukan beberapa hal, yang waktu itu kuanggap berat, atau sepele, atau nekat, dan hal-hal lain yang kuanggap ga penting. Namun pada akhirnya, saat ini aku syukuri.

        Siapa yang tahu bahwa pengalaman yang mungkin saat itu dianggap pahit, tetap dapat menuntun ke hal yang lebih baik, yang bisa dituai saat ini, atau nanti. Semua memang perlu proses untuk memahami, tidak pula dalam waktu sebentar. Bisa satu tahun kemudian, dua tahun, bakan sepuluh tahun setelahnya.

        Bisa jadi aku yang telat menyadarinya, tapi tetap, pengalaman yang perlu diflashback ketika aku baru bisa menyadarinya sekarang, membuatku lebih kuat saat ini dalam menghadapi hari-hari yang lebih berat, karena keyakinan akan hasilnya di masa depan. Insyaallah.

        Bagaimana jadinya kalau waktu itu, aku ga kerja part time ditahun kedua kuliah. Mungkin aku ga akan bertemu dengan orang yang sekarang menjadi suamiku. Bagaimana jadinya kalau waktu itu, aku ga nganter nota penerbitan iklan baris yang hanya berkisar duapuluhan ribu rupiah -yang mana tidak cukup membantu target bulananku sebagai marketing- ke adik dari pacarnya temenku, mungkin aku ga akan ditawarin kerjaan yang sampai saat ini bisa bantu perekonomianku.

        Kerja part time sambil kuliah kuanggap sangat berat, seminggu pertama bekerja rasanya langsung ingin resign. Sungguh, aku masih ingat capeknya. Apalagi jarak tempat kerja ke kosku bisa 40 menit perjalanan, pulang shift sore jam 12 malam, rasanya ga worth it, tapi ada satu kawan yang waktu itu bilang "aku kalo kesini ga tak anggap kerja, anggap aja nongkrong tiap hari". Sebulan kemudian, aku sudah mulai enjoy dengan "tongkrongan" baruku ini. Di tempat ini pula, aku diajak kenalan sama maba pendatang ke Jogja yang lagi nongkrong dan kita follow-followan di sosmed. Pikirku waktu itu, untuk semua sosmed yang penting banyak followersnya dulu biar makin ~ h i t s ~. Dan ya, sepuluh tahun berlalu begitu saja, akhirnya kami bertemu lagi untuk 🌌following each other's life🌌. Ahseeek.

        Empat tahun kuliah, akhirnya aku dinyatakan lulus sidang skripsi. Namun kepahitan terjadi (lagi). Aku ga bisa langsung wisuda di periode terdekat. Katanya, pendaftaran yudisium sudah ditutup beberapa saat sebelum aku selesai sidang. Setelah mendebat Kajur dan Dekan, yang udah jelas kalah tapi jiwa Sagittarius menggebu-gebu untuk berjuang, akhirnya aku menyerah juga. Timbal balik dari peristiwa ini sangat istimewa, aku punya waktu panjang untuk dinyatakan sah lulus secara de yure, dan berkesempatan untuk mendaki Gunung Rinjani. Sebuah kesempatan yang mungkin ga akan terulang lagi.

        Begitulah seterusnya. Mungkin ini hanya sebagian kecil dari apa yang telah Tuhan berikan. Tuhan bisa saja menyiapkan rezeki yang melimpah untukku. Tapi aku harus cari jalan sendiri untuk sampai di rezeki itu. Kasarnya, ga mungkin aku cukup dengan berdoa dan seketika Tuhan melemparkan apa yang aku doakan. Aku harus cari mana benang yang bisa menghubungkanku ke rezeki itu. Sementara, benang itu bisa saja dikaitkan ke banyak titik, dan aku cukup mencari salah satu diantara titik itu. Atau, perbanyak titik agar bisa punya banyak kemungkinan.

        Dan pengalaman seperti ini, akan selalu jadi pengingat setiap kali aku mengalami ke-kurang suka-an ku terhadap hal yang sedang aku jalani. This too shall pass. Ditunggu tanggal panennya!

26.1.23

9 years later

0 komentar

 Hello buddy, I'm back.

Setelah sembilan tahun berlalu sejak postingan terakhir published, akhirnya aku rindu dengan cerita-ceritaku di masa lampau. Rasanya, banyak hal yang terlalu sayang untuk tidak dikenang saat ini, di usiaku yang ke t i g a p u l u h tahun. Selama sembilan tahun ke belakang tentu banyak sekali perubahan pola rasa. Dan aku ingin mengungkapkannya satu per satu. Here we go!

22.12.13

21

0 komentar
Untuk yang ke dua puluh satu, aku merasa telah bahagia. Aku merasa telah keluar dari segala yang pernah membelenggu. Aku bebas menentukan semuanya sendiri, namun karena itu, karena aku terlalu bebas menentukan keinginanku sendiri, aku hanya bisa memutuskan untuk tidak memilih apa-apa. Aku sering bertanya, aku ini siapa, aku bisa berbuat apa. Tak ada yang berbeda dariku diantara tahun-tahun sebelumya. Sudah terlambatkah aku jika sampai kepala dua lebih aku masih mencari jati diri? Mau jadi apa? Mau menggeluti apa? Aku masih belum tahu dan sama sekali tak ada yang ku sukai di dunia ini, seperti yang orang lain suka lakukan, menjalani passion.
Padahal beberapa sahabat sudah mulai menjalani passion mereka, ada yang mencintai fotografi, mendapatkan kamera dengan segala guna lensa dari orang tuanya untuk menjalani passionnya. Ada pula yang telah menjadi penulis dan menenerbitkan novel kecil-kecilan. Yah, meskipun kecil, tapi ini awal dan segala yang besar diawali dari hal yang kecil. Dia sangat ku kagumi dengan segala kepandaiannya di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Lebih kagum lagi aku padanya karena dia memulai jalan hidupnya sebagai penulis. Ada pula kawanku yang mulai membentuk band dengan bayaran seadanya, bermain teater, membuat pameran seni rupa, dan lain sebagainya. Semua masih kecil-kecilan. Tapi sekali lagi, segala yang besar diawali dari hal yang kecil.
Sekarang aku bertanya, hal kecil apa yang sudah aku perbuat untuk kemudian ingin aku jalani? Aku bahkan hampir tak ingin menjalani apapun yang bisa dijadikan passion. Aku tak hobi dalam hal apapun. Aku tak mencintai hal apapun. aku hanya mengagumi segala sesuatu yang dijalani orang lain. Aku tak pandai membuat perubahan. Aku tak pandai bertele-tele dengan segala omong kosong yang membuat orang bisa kagum padaku. Bahkan aku masih tak ingin dilihat diantara kerumunan. Aku malas untuk menjalin hubungan dengan orang lain, aku malas untuk menambah “kenalan yang tidak penting” dan aku saaaanggaat malas untuk (lagi-lagi) mencari passion yang hanya aku yakini ada namun masih saja aku pun tak tahu apa.
 Terlebih jika aku sedang sendiri. Ingin sekali aku merubah hidupku, tapi lagi-lagi pikiranku terhalang dengan “mau dirubah jadi apa?” aku bahkan tak punya tujuan dan karena itu maka aku tak pernah memulai segalanya. Bukankah sama saja berjalan tanpa tujuan, hanya seperti kapal yang terombang-ambing dilautan tanpa ia tau dermaga, dan akhirnya tenggelam dimakan zaman. Mungkin lama-lama aku juga akan menua, menikah, menjadi nenek, dan akhirnya tenggelam dimakan zaman dan sampai selamanya aku tak pernah tau apa yang ada dalam diriku, dan tak pernah ada yang bisa dibanggakan dariku. 

25.7.13

opo kui urip?

0 komentar
urip ki pait, nek legi jenenge pasar.
urip ki menggak-menggok, nek lurus jenenge biting.
urip ki munggah-medun, nek datar jenenge TV.
urip ki semrawut, nek mulus jenenge pupu.
makane urip pancen abot, nek enteng teneh kebur,